GRESRUTS

Merebut Rezeki nan Halal sebagai Juragan Toko Obat


BERAGAM BISNIS dengan stempel syariah merambah ke pelbagai bidang usaha. Setelah bank, pegadaian, dan asuransi, kini muncul apotek berbasis syariah. Adalah Apotek Syariah Pratiwi yang pertama kali mengusung konsep bernuansa islami ini.
Awalnya, apotek yang berdiri sejak 14 Maret 1999 di Matang Glumpang Dua, Kabupaten Bireuen, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), ini tak ubahnya seperti apotek yang lain. Ketika itu, apotek yang semula bernama Apotek Pratiwi ini sudah memiliki lima cabang yang tersebar di Tanah Rencong.
Setelah 10 tahun berdiri, Agusnaidi, pemilik Apotek Pratiwi, ingin memperluas jaringan apoteknya. Pak dokter ini kemudian menawarkan konsep waralaba syariah. Ide ini mencuat ketika Provinsi NAD memberlakukan penerapan Undang-Undang Qanun Syariah Islam.
Dengan konsep syariah ini, Agusnaidi ingin keuntungan perusahaan dapat dicicipi secara adil oleh pemilik modal dan pengelola apotek ataupun pegawainya. “Kalau konsep kemitraan lain, hanya investor saja yang untung,” katanya.
Cita-cita Agusnaidi ini terwujud awal tahun ini. Pria kelahiran Bireun, 4 Agustus 1968, ini  mulai menawarkan waralaba Apotek Syariah Pratiwi di bawah kibaran bendera PT Pratiwi Pharmata.
Agusnaidi mengklaim, konsep waralabanya berbeda dengan yang konvensional. Dia memaparkan, dalam konsep kemitraan berbasis syariah ini pemilik modal dan pengelola   memperoleh pembagian hasil keuntungan (mudarabah). Jadi, pengelola apotek tidak memperoleh gaji.
Perbandingan pembagian hasil ini tetap lebih besar mengalir ke pemilik modal, yakni sebesar  60%, sedangkan sisanya untuk pengelola. Sekadar catatan, pembagian keuntungan diberikan setelah dipotong zakat   penghasilan sebesar 2,5%.
Dalam kesehariannya, operasional apotek ini juga bernuansa islami. Para pengelola wajib   tutup pada saat salat Jumat. Dan, para karyawan perempuan wajib berjilbab.
Rupanya, penawaran konsep syariah ini bak gayung bersambut. Kini, Apotek Syariah Pratiwi sudah beranak-pinak. Ada  sembilan cabang beroperasi di Provinsi NAD dan satu lagi bercokol di Medan, Sumatra Utara. Semua cabang tersebut milik para mitra.
Bila Anda tertarik menjadi mitra Apotek Syariah Pratiwi, syaratnya tak terlalu memberatkan. Yang penting siapkan kocek Anda. Modal awalnya berkisar Rp 200 juta hingga Rp 400 juta, di luar biaya sewa tempat. Luas tempat yang dibutuhkan minimal 50 meter persegi.
Investasi awal tersebut sudah mencakup biaya renovasi, stok obat, mebel, eksterior, sistem informasi, modal kerja untuk tiga bulan, perizinan, serta biaya waralaba Rp 50 juta selama lima tahun. Setelah lima tahun, mitra wajib membayar lagi biaya waralaba sebesar Rp 25 juta  kepada PT Pratiwi untuk masa lima tahun lagi.
Selain investasi awal, mitra juga harus membayar biaya lain  kepada Pratiwi berupa biaya promosi antara Rp 500.000 hingga Rp 1 juta per bulan dan management fee sebesar 10% dari pendapatan setelah dipotong zakat per tahun. Tapi, pewaralaba berjanji tak akan memungut management fee bila dalam operasionalnya mitra sedang menderita kerugian.
Yang unik, pewaralaba tidak mengharuskan mitra memperoleh pasokan obat darinya. Cuma, Agusnaidi menyarankan,  para mitra memperoleh obat dari daftar distributor yang telah ditunjuk. Selain terjamin halal, mitra juga bisa berutang dulu bila belum memiliki uang.
Untuk menghindari persaingan di antara sesama mitra, Apotek Syariah Pratiwi membuat patokan harga.
Salah satu terwaralaba Apotek Syariah Pratiwi adalah Zul Almuslim. Dia menjadi mitra Apotek Syariah Pratiwi ini sejak akhir tahun 2008 lalu. Zul kepincut lantaran melihat ada nilai keadilan dalam bisnis ini. Pasalnya, pengelola dan investor bertanggungjawab atas pengelolaan apotek. “Sistem syariah membuat pengelola merasa memiliki apotek. Jadi, rugi atau untung, pengelola ikut merasakan,” kata mitra Pratiwi di Banda Aceh ini.
Tak cuma itu, sistem syariah ini membuat Zul tidak perlu repot terjun langsung mengurus operasional apotek. “Saya seorang dosen yang tidak mengerti bisnis apotek. Keterlibatan pengelola yang sudah pakar bisnis apotek sangat meringankan,” papar Zul.
Dari bisnis obat ini, Zul mengaku menuai berkah. Saban pekan, omzetnya bisa mencapai  antara Rp 16 juta hingga Rp 20 juta. Dalam seminggu itu, apotek hanya beroperasi lima hari. Artinya, setiap hari omzet apotek milik Zul bisa mencapai kurang lebih Rp 4 juta.
Dari omzet sebesar itu, Zul memperoleh pendapatan bersih 10% dari omzet. “Itu sudah dikurangi segala beban operasional,” terangnya.
Cuma, dia bilang, usaha apotek ini butuh kesabaran. “Tiga bulan pertama omzet cuma  Rp 3 juta seminggu,” ujar Zul.
Wajib berinfak

Pratiwi bukanlah satu-satunya apotek yang mengusung konsep syariah. Di Depok, Jawa Barat, ada juga yang menawarkan konsep serupa. Namanya Apotek Syariah. Toko obat ini mengklaim telah memperoleh sertifikat usaha syariah langsung dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Tapi, Apotek Syariah ini belum resmi beroperasi. Heri Yuliadi, pendiri Apotek Syariah, akan meluncurkan konsep apotek ini pada 15 Oktober  mendatang. “Soft launching baru beberapa pekan lagi, tapi konsep syariah ini sudah menarik sekitar tujuh investor,” klaim Heri.
Dengan memboyong konsep syariah ini, Heri yakin peminat Apotek Syariah bakal laris manis, meski agama penduduk di Jawa lebih heterogen ketimbang di NAD “Karena keuntungan dibagikan kepada masyarakat juga, pasti masyarakat ikut bertanggungjawab membesarkan apotek ini,” ujarnya.
Heri menawarkan tiga paket kemitraan. Harga ketiga paket kerjasama ini berjenjang, dari Rp 525 juta, Rp 750 juta, hingga Rp 1 miliar sesuai dengan lokasi si mitra.
Bila lokasi berada  di tingkat kecamatan, nilai investasi cukup Rp 525 juta, sedangkan di  kabupaten atau kotamadya Rp 750 juta. Adapun di ibukota provinsi sebesar Rp 1 miliar. Investasi awal ini belum mencakup biaya royalti, belanja obat, dan renovasi tempat.
Hal yang membedakan Apotek Syariah dengan apotek lain adalah soal pasokan dan penggunaan obat. Heri mengatakan,  mitra harus membeli obat dari  dia agar harga bisa seragam.
Dia berani menjamin pasokan obat bagi para mitra tak akan seret. Pasalnya, dia mengaku telah bekerjasama dengan pedagang besar farmasi (PBF).
Heri juga mengklaim, harga obat yang dia jual lebih murah dari distributor obat lain. Dengan begitu, dia berani menjamin harga jual obat 30% lebih murah daripada toko obat lain.
Selain itu, Heri mewajibkan mitranya memberikan infak sebesar 10% dari pendapatan bersih. “Infak itu berupa obat gratis kepada mereka yang tidak mampu secara finansial,” ujar Heri.
Penerima infak ini adalah keluarga tak mampu yang dibuktikan dengan surat keterangan dari lembaga keagamaan setempat. Uniknya, pasien non-muslim juga bisa memperoleh infak ini asalkan memang memiliki surat keterangan itu.
Berdasarkan perhitungan Heri, mitranya bisa mengembalikan investasi dalam tempo tiga tahun. Tapi, dengan catatan, omzet mitra tersebut menembus Rp 3,5 juta hingga Rp 5 juta per hari.
sumber

DAFTAR ISI ARTIKEL

 

BANNER LINK TEMEN

freedownload http://coolmixs.blogspot.com/

TEKS LINK TEMEN

LINK FAVORIT

THANK'S TO :

GRESRUTS Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template