Sudah lebih dari 3 tahun Sarjana Akuntansi lulusan Universitas Brawijaya ini membuka usaha butik. Awalnya, usaha ini dibuat dengan tujuan untuk membantu mereka yang belum bekerja.
“Mulanya hanya coba-coba dan sekadar memberi pekerjaan bagi orang-orang di sekitar rumah saya yang belum bekerja,” kata Vivin kepada SH, baru-baru ini
Awalnya, Vivin membuat baju muslim beberapa potong. Lalu, baju-baju itu ditawar-tawarkan ke tetangga. Ternyata baju tersebut diminati. Semakin lama semakin banyak pesanan yang diterimanya. Menjelang Lebaran, banyak permintaan baju anak-anak.
Tapi, karena belum mampu memproduksi sendiri, maka ia pun membeli baju anak-anak di sebuah distributor yang biasa memasok ke factory outlet di Kota Bandung. Menurut Vivin, dirinya saat itu belum membuat baju un-tuk anak-anak karena hanya memiliki seorang pekerja yang membantunya menjahit.
Tetapi justru dari baju anak-anak inilah usaha butik yang dirintisnya semakin dikenal. Karena membeli langsung dari distributor maka harga jual baju anak-anak di butiknya jauh lebih murah dibandingkan harga jual di factory outlet. Sekalipun dari segi kualitas dan merek sama.
Setelah usahanya mulai menampakkan hasil, Vivin tak bisa setengah-setengah mengelolanya. Ia pun tak segan-segan keluar dari pekerjaannya di salah sebuah pabrik tekstil di Majalaya.
Dengan bantuan ayahnya, Bakri Erwiyono, yang memberinya dukungan modal, Vivin lantas mengembangkan usahanya. “Saya mulai membuat baju dengan merek sendiri,” katanya.
Merek yang dipilihnya adalah Kadugi. Dalam Bahasa Sunda Kadugi berarti terjangkau.
Maksudnya harga jual baju yang dibuatnya relatif terjangkau. Tidak terlalu mahal dibandingkan harga baju yang dijual di toko-toko. Lokasi usaha yang bertempat di rumahnya yang ada di sebuah gang sempit ternyata tak menghalangi calon pembeli untuk datang. Pembeli ini bukan hanya datang dari sekitar rumahnya. Dengan informasi dari mulut ke mulut mulai banyak pembeli yang datang dari luar kota. Seperti dari Cirebon, Kuningan, Tasikmalaya, Medan, Pakanbaru, Surabaya, bahkan Bontang.
Menurut Vivin, kebanyakan pembeli memesan dalam jumlah banyak untuk kemudian dijual kembali. Disebutkannya langganannya yang di Bontang. Setiap bulan sedikitnya 20 potong dikirimnya ke Bontang. Dari Bontang kemudian dikirim kembali ke berbagai kota di Kalimantan dan Madura. Karena pesanan semakin banyak, Vivin mencoba meminjam modal ke PT Bio Farma. Selaku BUMN, Bio Farma memang memiliki program pembinaan usaha kecil koperasi (PUKK) yang memberikan pinjaman modal bagi usaha kecil menengah serta koperasi.
Saat itu, Vivin memperoleh pinjaman sebesar Rp 10 juta. Dengan suntikan modal tersebut Vivin menambah jumlah pekerjanya. Kini ada sekitar 5 orang pekerja yang membantu dirinya. Mulai dari menjahit hingga membordir. Sementara untuk pemilihan bahan, model serta pemasaran baju ditanganinya sendiri.
Harga jual baju buatannya berkisar antara Rp 100 ribu-Rp 300 ribu. Harga ini tergantung kualitas bahan dan jahitan. Semakin bagus kualitas bahan dan halus jahitan maka harganya menjadi lebih mahal. Soal bahan dan model diserahkan sepenuhnya kepada pemesan.
Dalam memproduksi pun Vivin tidak dilakukan secara massal. Sebuah model hanya diproduksi sesuai permintaan dari pembeli. Apabila tiga tahun lalu omset yang didapat Vivin masih dalam hitungan ratusan ribu/bulan, maka kini sudah mencapai jutaan rupiah setiap bulannya.
Menurutnya, omset penjualannya memang fluktuatif. Biasanya menjelang Lebaran omsetnya bisa banyak. Jika dipukul rata maka omset setiap bulannya berkisar antara Rp 3 juta-Rp 5 juta. Sebuah omset yang cukup lumayan apabila melihat lokasi usahanya yang berada di gang sempit.
Memang setiap harinya rumah yang sekaligus difungsikan sebagai ruang pamer baju produknya tak ramai dikunjungi orang. Ini berbeda dengan toko-toko baju atau butik yang ada di pinggir jalan. “Tapi setiap hari selalu ada pembeli atau pesanan,” kata Vivin lagi.
sumber